Minggu, 28 Maret 2010

Persinggahan Terakhir Lelaki dan Bukunya

Persinggahan Terakhir Lelaki dan Bukunya

KEGADUHAN melanda Dusun Selopanggung, Semen, Kabupaten Kediri, suatu hari pada 1949. Kampung di kaki Gunung Wilis itu kedatangan seratusan tentara. Di dalam rombongan itu, ada pula seorang laki-laki yang tangannya diikat tali dan setumpuk buku yang dipanggul serdadu.

Pasukan Batalion Sikatan, demikian nama kesatuan tentara itu, sedang menghindari kejaran Belanda. Tolu, yang kini 69 tahun, menyaksikan laki-laki itu kemudian ditawan bersama tumpukan bukunya di lumbung padi. Ia juga masih ingat ketika suatu malam terdengar letusan keras dan tahanan itu tak pernah terlihat lagi.

Kenangan tersebut kembali muncul ketika Harry Poeze mendatangi kampungnya pada awal 1990-an. Sejarawan Belanda ini memastikan tawanan itu adalah Tan Malaka, sosok yang selama hampir 60 tahun tak tentu rimbanya. Poeze datang lagi dua pekan lalu.

Bagi Poeze, ini adalah temuan terbesarnya sejak meneliti Tan Malaka, 36 tahun lalu. Baru di dusun itulah ia yakin bahwa tawanan yang ditembak tentara seperti disebutkan Tolu adalah tokoh yang telah 20 tahun ia cari makamnya.

Kematian Tan sebelumnya menjadi kontroversi. Selama bertahun-tahun, ia diyakini ditembak di tepi Sungai Brantas di wilayah Kediri. Partai Murba, yang didirikannya, termasuk penganut pendapat ini. Teori lain menyebutkan bahwa pasukan Partai Komunis Indonesia berada di belakang pembunuhan itu. Sayuti Melik, pengetik teks proklamasi, dalam buku Sukarni dalam Kenangan Teman-temannya, menyebutkan bahwa pasukan Pesindo (PKI) membunuh Tan karena tak menginginkannya menggantikan Bung Karno sebagai presiden. Soekarno pada awal September 1945 memang mengeluarkan testamen yang menyebut, bila ia dan Hatta terhalang memimpin revolusi, Tan Malaka melanjutkan memimpin revolusi.

Adam Malik punya teori lain. Dalam buku Mengabdi Republik Jilid II, ia menyebutkan bahwa Tan tewas "ditembak tangan-tangan kotor yang tak bertanggung jawab" pada 16 April 1949 di Kediri.

Menurut Poeze, Tan ditembak mati di Selopanggung pada 21 Februari 1949. "Dia ditembak atas perintah Letnan Dua Soekotjo dari Batalion Sikatan bagian Divisi IV Jawa Timur," kata Poeze. Soekotjo terakhir berpangkat brigadir jenderal dan pernah menjadi Wali Kota Surabaya.

Cerita kematian Tan Malaka itu mengisi salah satu bagian dari buku setebal 2.200 halaman yang telah ia luncurkan akhir Juli tahun lalu. Buku berbahasa Belanda itu berjudul Vurguisd en Vergeten, Tan Malaka, de Linkse beweging en de Indonesische Revolutie, 1945-1949 (Tan Malaka, Dihujat dan Dilupakan, Gerakan Kiri dan Revolusi Indonesia 1945-1949).

Setelah agresi kedua, 19 Desember 1948, dan Soekarno-Hatta ditawan Belanda, Tan Malaka mengalihkan kegiatan politiknya ke daerah Blimbing, Kediri. Dengan jaminan seorang komandan batalion bernama Mayor Sabarudin, ia mendirikan Rakyat Murba Terpendam sebagai markas untuk menyebarkan pamflet dan berpidato memproklamasikan diri sebagai pemimpin revolusi Indonesia karena Soekarno-Hatta sebagai tawanan tak lagi memegang kekuasaan.

Ia punya alasan untuk klaimnya itu: testamen yang ditandatangani Soekarno pada Oktober 1945. Itu sebabnya, ia juga menolak mengakui pemerintahan darurat yang dipimpin Sjafruddin Prawiranegara di Sumatera. Sabarudin tak tinggal diam. Prajurit ini pun sibuk mengurus penyebaran pamflet. Duet ini mulai mendapat banyak pengikut, terutama kalangan muda.

Menurut Poeze, Tan mengajak rakyat perang gerilya melawan Belanda sebagaimana dilakukan Soedirman. Dari markas itu pula, ia mengkritik tentara divisi Jawa Timur pimpinan Kolonel Soengkono yang dinilai pengecut dan tak peduli terhadap kepentingan rakyat.

Soengkono menerima laporan dari Soerahmad, Komandan Batalion Sikatan yang bertugas di Kediri, bahwa Tan telah melakukan agitasi. Soengkono pun menugasi Soerahmad menyelesaikan persoalannya. Soerahmad kemudian mengeluarkan perintah kepada anak buahnya "untuk memperhatikan gerakan yang dipimpin Tan Malaka yang telah membahayakan perjuangan Republik Indonesia".

Pasukan Soerahmad pun bergerak menuju markas kelompok Tan. Tapi, secara bersamaan, muncul serangan Belanda. Kelompok Tan dan pasukan batalion pun berantakan. Tan berhasil lari dengan dikawal enam anak buahnya. Mereka bergerak sekitar 60 kilometer ke arah selatan mencari kesatuan yang bersimpati. Tapi mereka harus melewati daerah yang dikuasai oleh anggota Batalion Sikatan.

Di Selopanggung mereka bertemu dengan regu Soekotjo. Enam pengawal Tan Malaka lari. Dua lari ke arah selatan dan selamat, sedangkan empat ke arah Sungai Brantas. Tiga dari empat orang itu ditembak mati. Seorang lagi melompat ke kali, berenang, dan selamat. Orang inilah yang menjadi sumber Poeze dalam melacak Tan.

Tentang siapa yang memerintahkan penembakan Tan juga masih banyak silang pendapat. Menurut Adam Malik, perintah penembakan itu pasti bukan berasal dari Jenderal Soedirman yang mempunyai hubungan erat dengan Tan Malaka. Soengkono pun, kata Adam Malik, mengenal Tan.

Poeze memperkirakan eksekusi itu tak lepas dari perintah Soengkono yang tak jelas. Panglima yang menguasai pasukan se-Jawa Timur ini sempat mengirimkan radiogram ke daerah-daerah yang berisi pernyataan bahwa aktivitas gerakan Tan Malaka berbahaya. Dalam perintah itu juga disebut mereka harus dihentikan dan jika ada perlawanan, bisa dipakai hukum militer. "Mungkin Soekotjo menafsirkan perintah hukum militer sebagai tembak mati," katanya.

Tragedi kematian Tan itu membuat Hatta kemudian memberhentikan Soengkono sebagai Panglima Divisi Jawa Timur dan Soerahmad sebagai Komandan Brigade. Soekarno tak mau kalah. Ia mengangkat Tan Malaka sebagai pahlawan nasional pada 28 Maret 1963.

Keluarga Soekotjo tak mempercayai cerita itu. Istri Soekotjo membenarkan bahwa suaminya pernah bertugas di Kediri. Saat itu mereka belum menikah. Soekotjo pun sama sekali tak pernah bercerita tentang Tan Malaka, apalagi tentang penembakan Tan. "Tapi saya yakin, cerita itu tak benar," katanya.

Poeze menunjuk buku biografi Soerahmad Profil Seorang Prajurit Pejuang yang diterbitkan anaknya, Suyudi Soerahmad, pada 2000 sebagai salah satu sumbernya. Di buku itu disebutkan Soerahmad bertanya kepada Hendrotomo, anak buahnya, yang juga atasan Soekotjo: bagaimana dengan Tan Malaka? Hendrotomo bilang, "Sudah dibereskan dan dikuburkan." Ada proses? Hendrotomo bilang, "Ada proses." Proses yang dimaksud di sini, menurut Poeze, adalah pengadilan militer yang dilakukan oleh Soekotjo. "Saya berharap istri dan keluarga Soekotjo tidak marah. Ini kenyataan sejarah," ujar Poeze.

Tolu, yang ditemui Tempo, mengaku mengenal Soekotjo. Saat itu ia berusia 10 tahun. Ia bercerita kepalanya pernah dielus-elus Soekotjo saat menemukan setumpuk peluru di bawah rerimbunan pohon bambu. Rupanya peluru itu digeletakkan sembarangan oleh anak buahnya. "Pak Soekotjo tidur di rumah kakek saya yang bernama Mbah Yasir," katanya.

Poeze menjelaskan teori kematian Tan itu masih harus diperkuat dengan pembongkaran makam dan uji DNA. "Itu wewenang Departemen Sosial," katanya. Tapi, untuk mengidentifikasi kembali makam Tan, Kamis dua pekan lalu, ia kembali ke Selopanggung mengajak Zulfikar Kamaruddin, anak adik kandung Tan satu-satunya, Kamaruddin; serta Ibarsyah Ishak, suami cucu Tan dari garis ibu.

Tolu menjadi pintu masuk. Ia masih ingat cerita Kadir, yang dulu membantu menyiapkan makanan bagi tentara, bahwa tawanan itu dimakamkan bersebelahan dengan kuburan Mbah Selo, sesepuh Dusun Selopanggung. Lokasi kuburan kedua orang itu hanya ditandai dengan pohon kemboja. Sayang, Kadir sudah meninggal.

Pemakaman itu terletak di atas bukit dengan batu besar tinggi menjulang, lebih tinggi daripada pohon kelapa. Batu inilah yang menginspirasi para pembabat dusun untuk memberi nama kampungnya Selopanggung, yang artinya batu tegak.

Untuk menuju dusun ini, orang harus melewati jalan menurun yang curam. Jika lewat selintas di jalan utama, kita tak menduga bahwa di bawah jalan curam tersebut terdapat dusun yang cukup besar. Nah, makam Mbah Selo masih harus dicapai dengan menyusuri sungai kecil berbatu, kemudian turun ke sungai besar, naik ke bukit, sampai ke batu jangkung itu, lalu belok kiri dan seratus langkah kemudian baru tiba di makam.

Ada dua pohon kemboja di makam itu. Yang pertama sudah sangat tua, yang lainnya lebih muda. "Di bawah pohon kemboja tua inilah Mbah Selo dimakamkan. Adapun di bawah pohon kemboja yang agak muda itu terdapat makam tawanan yang dibunuh tentara dan buku-bukunya dibakar," kata Tolu.

Poeze yakin Tan Malaka dikuburkan di pemakaman umum Dusun Selopanggung itu. Hanya, posisi tepatnya perlu diteliti lagi, karena di kompleks makam terdapat sejumlah makam lain.

Jika kelak makam Tan ditemukan dan kiprahnya dalam perjalanan bangsa ini makin terkuak, ia tak perlu lagi mengulang pernyataannya kepada seorang polisi Inggris yang akan menangkapnya di Hong Kong pada 1932. "Ingatlah bahwa dari dalam kubur, suara saya akan lebih keras daripada dari atas bumi."

11 Agustus 2008
Sumber: http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/2008/08/11/LU/mbm.20080811.LU127971.id.html#