Selasa, 26 Januari 2010

Kerja sama singkat tan Malaka dan Sjahrir

Kerja sama singkat tan Malaka dan Sjahrir

HARRY POEZE
Penulis biografi yang ekstensif tentang Tan Malaka. Jilid pertama dari enam jilid diterbitkan di Indonesia dengan judul Tan Malaka, Gerakan Kiri dan Revolusi, jilid I Agustus 1945-Maret 1946, tahun 2008. Tahun ini dua jilid lagi akan diterbitkan.

SJAHRIR adalah satu dari Tujuh Begawan Revolusi Indonesia. Ketujuh orang ini—Soekarno, Hatta, Sjahrir, Amir Sjarifoeddin, Tan Malaka, Sudirman, dan A.H. Nasution—dalam kadar berbeda menentukan arah dan produk revolusi. Republik Indonesia pada zaman revolusi, dengan demikian, bukan merupakan akibat dari proses sosial yang impersonal dan tak terhentikan, melainkan hasil interaksi ribuan orang dan organisasi, kelompok angkatan bersenjata dan badan perjuangan, politikus nasional dan lokal, idealisme dan oportunisme, patriotisme dan banditisme, pahlawan dan pengecut. Semua ingar-bingar itu berakhir dengan ajaib: pengakuan kedaulatan Indonesia oleh Belanda pada Desember 1949.

Ketujuh pemimpin ini dengan caranya masing-masing berkontribusi bagi jalannya revolusi. Setelah revolusi, mereka mengalami peruntungan berbeda, aliansi berbeda, dan perimbangan kekuatan berbeda.

Sjahrir dan Amir, yang tak tergoda bekerja sama dengan Jepang, pada 1945 segera mengambil alih kekuasaan dari tangan Soekarno dan Hatta. Mereka menghadirkan Republik Indonesia yang siap bernegosiasi dengan Sekutu dan Belanda. Di latar belakang, Soekarno dan Hatta menunggu saat yang tepat untuk comeback. Kesempatan itu datang tatkala Sjahrir berada di bawah tekanan melakukan terlalu banyak konsesi dalam pembicaraannya—yang dalam diskursus politik sering disederhanakan sebagai diplomasi.

Tan Malaka, politikus sorangan, yang setelah 20 tahun di pembuangan, secara diam-diam kembali ke Jawa pada 1942. Ia mengepalai sebuah koalisi berwajah angker antara organisasi politik dan organisasi militer, Persatuan Perjuangan. Koalisi yang membawa panji-panji perjuangan ini melancarkan oposisi blak-blakan terhadap konsesi apa pun dengan Belanda, bila konsesi itu menyimpang dari semangat Proklamasi. Tujuan mereka adalah merdeka 100 persen.

Namun Tan Malaka dan koalisinya ternyata hanya raksasa dengan kaki dari tanah liat. Setelah melakukan perlawanan sengit terhadap Sjahrir, Amir, Soekarno, dan Hatta—keempatnya hanya memberikan tanggapan moderat— dalam sidang parlemen sementara, yaitu Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) di Solo pada Februari 1946, Persatuan Perjuangan lenyap tak berbekas. Tan Malaka pun hilang dalam gerhana.

Kendati demikian, Tan masih dianggap ancaman bagi kehormatan Republik. Entah Amir atau Sjahrir, atau mungkin keduanya, dengan persetujuan Soekarno, secara tak resmi mendukung penculikan Tan Malaka dan beberapa pengikut setianya oleh dua orang pemuda Pesindo, organisasi pemuda sosialis, dari sayap yang dipersenjatai. Penculikan pada Maret 1946 itu berhasil, tak mendapat kecaman publik, dan Tan Malaka ditahan tanpa proses persidangan sampai September 1948. Ketika dibebaskan, Tan tentu saja sakit hati terhadap mereka yang bertanggung jawab atas penahanannya: Sjahrir, Amir, Soekarno, Hatta.

Selama delapan bulan—dari Proklamasi sampai penculikan Tan Malaka—Tan berubah dari negarawan senior terhormat, disegani karena pengalamannya dan perjuangan antikolonialnya, dan seorang teoretikus revolusi, menjadi orang buangan, dihujat dan dilupakan. Sjahrir adalah salah satu pengagumnya. Mereka bertemu pertama kali pada September, di rumah Soebardjo, tempat Tan Malaka tinggal sementara. Mereka bertemu lagi ketika Tan Malaka pindah ke Bogor. Sjahrir dan para pemuda terkemuka mendiskusikan cara menggantikan kekuasaan presiden Soekarno dan Hatta dengan pemerintahan parlementer yang dikepalai Sjahrir.

Tan Malaka memberikan usulan dalam bahasa Inggris: ”We must follow a nationalist policy with a very deep cut into socialism” (Kita harus menjalankan suatu politik nasionalis yang sangat diwarnai oleh sosialisme). Sjahrir setuju. Dalam kerja sama yang erat, mereka merencanakan langkah-langkah untuk mengambil alih kekuasaan dari Soekarno dan Hatta.

Tapi belakangan Sjahrir berpikir bahwa dalam keadaan segenting itu perlu mempertahankan Soekarno sebagai simbol negara. Sjahrir juga menaruh rasa hormat pada Tan Malaka yang ia sapa dengan sapaan kehormatan Minangkabau, Engku.

Sjahrir kemudian terpilih menjadi Kepala Badan Pekerja KNIP pada 17 Oktober untuk menangani masalah-masalah parlementer. Ia mengisi lembaga yang dipimpinnya dengan sejumlah besar pendukungnya yang ditemuinya seminggu kemudian. Termasuk, Tan Malaka yang saat itu berada di Serang. Ini merupakan pertemuan penting. Tan Malaka mengemukakan pandangannya bahwa perlawanan all-out terhadap Belanda merupakan kebijakan yang harus diikuti. Indonesia tak memiliki persenjataan, tapi ia memiliki rakyat dan pemuda yang siap bertempur.

Ancaman bumi hangus akan mencegah Belanda untuk kembali. Perundingan dengan Belanda hanya boleh terjadi bila Belanda mengakui kemerdekaan Indonesia. Perlawanan total inilah yang kemudian menjadi program Persatuan Perjuangan dan memicu bubarnya kerja sama Tan Malaka dan Sjahrir. Tapi, di Serang, Sjahrir masih meminta Tan Malaka menjadi Ketua Partai Sosialis yang segera didirikan. Reputasi Tan yang legendaris dipandang dapat memperkuat basis kekuasaan yang solid bagi Sjahrir.

Tan Malaka menolak tawaran itu. Dalam pandangannya, partai-partai yang tumbuh seperti jamur di musim hujan hanya membawa perpecahan dan mengancam persatuan yang begitu diperlukan bagi perjuangan melawan Belanda. Tan Malaka menegaskan prinsipnya: ”Sesudah lebih daripada dua puluh tahun di belakang ini, saya tiada ingin akan menjadi teman separtai kaum sosialis, yang kebanyakan masih mau berkompromi dengan kapitalis-imperialis itu.” Kepada pengikut setianya, Maroeto Nitimihardjo, ia bahkan lebih terus terang, ”Aku tak bisa melakukan ini, aku Komunis.”

Inilah akhir kerja sama kedua tokoh ini—Sjahrir memilih garis lebih moderat, Tan Malaka mengorganisasikan alternatif lebih radikal. Keduanya tak pernah bertemu lagi.

Dari ketujuh tokoh utama revolusi, hanya Sjahrir dan Tan Malaka yang menuangkan gagasan mereka dalam tulisan. Sjahrir menerbitkan Perjuangan Kita, yang beredar luas dan dipuji. Khususnya, oleh para pendukung di luar negeri—dari kelompok sosial demokrat yang moderat—yang setuju dengan lahirnya bangsa Indonesia yang baru. Namun prinsip-prinsip dan visi yang dikemukakan Sjahrir tentang persoalan-persoalan aktual kenegaraan terlalu singkat. Visi Sjahrir juga bercampur-aduk antara analisis politik, pertimbangan-pertimbangan taktis, rencana jangka pendek dan jangka panjang, pilihan praktis, ortodoksi Marxis, serta hasil pengamatan yang ditujukan kepada audiens dalam negeri dan luar negeri, yang disajikan kadang-kadang secara agresif, kadang-kadang tersembunyi.

Dibandingkan trilogi Tan Malaka yang disajikan dalam format dialog— Politik, Muslihat, Rencana Ekonomi—buklet Sjahrir tak dapat bersaing dengan tulisan Tan Malaka yang koheren dan mendalam tentang kebijakan-kebijakan pemerintah. Tapi Tan Malaka tak punya sarana untuk menerbitkan dan mengedarkan buklet-bukletnya. Ia juga tak mempunyai hubungan baik, serta kontak dan simpati dengan luar negeri.

Di dalam penjara Tan Malaka menulis Dari Penjara ke Penjara, yang juga berisi komentar-komentarnya tentang revolusi Indonesia yang diwarnai pengalaman-pengalaman getir bersama kuartet Soekarno, Hatta, Sjahrir, dan Amir. Dalam jilid tiga Dari Penjara ke Penjara yang beredar dalam bentuk stensilan ia tetap mengemukakan pandangan-pandangannya. Pada waktu itu Sjahrir telah turun dari jabatan perdana menteri, telah pula kehilangan goodwill, dan dituduh terlalu banyak melakukan konsesi dengan Belanda. Amir mengalami nasib yang sama menyusul keterlibatannya dalam Pemberontakan Komunis di Madiun, yang dibayar dengan eksekusi mati.

Analisis Tan Malaka atas keempat pemimpin dilakukan dalam bentuk sketsa: ”Satu dengan lainnya lebih banyak mempunyai persamaan dalam hal yang penting daripada perbedaan. Mereka sama-sama berasal dari golongan petite bourgeoisie, borjuis kecil Indonesia, sama-sama mendapatkan pendidikan sekolah Belanda tertinggi. Dan sama-sama bercita-cita ‘kerja-sama’ dengan imperialis Belanda, menurut Linggarjati dan Renville. Mereka cuma berbeda dalam kualitas, sifat, sebagai orang saja.”

Tentang Sjahrir, Tan menulis: ‘Sampai pada waktu Jepang menyerah, maka Sutan Sjahrir paling dekat dengan para pemuda […]. Tetapi dalam sikap tindakan merebut senjata dari Jepang pada 17-18-19 Agustus sudah kelihatan retak antara Sjahrir cs. dengan para pemuda. […] Sebenarnya Sjahrir sudah bertindak dengan Soekarno-Hatta. Dia dengan golongan pemudanya sudah melayang-layang di antara Massa Aksi dengan Diplomasi. Dia kelak dengan majunya perjuangan akan terpaksa memilih salah satunya—pekerjaan yang sangat sukar bagi borjuis kecil.” Tan terus mencadangkan kritik terhadap perilaku Sjahrir pada rapat KNIP di Solo, ketika keempatnya—Sjahrir, Amir, Soekarno, Hatta—menyingkirkan Persatuan Perjuangan lewat gerakan-gerakan rahasia dan manuver-manuver cerdik.

Atas cara ini, dalam beberapa bulan, kerja sama yang menjanjikan telah berbelok menjadi perseberangan yang pahit, dengan Tan Malaka dalam peran abadinya sebagai pecundang sepi. Tapi hari-hari kejayaan Sjahrir juga pendek. Sejak Juli 1947, ia dihukum untuk berdiri di pinggir, sebagai pemimpin partai sosial demokratik yang kecil.

03/XXXVIII 09 Maret 2009
Sumber: http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/2009/03/09/KL/mbm.20090309.KL129742.id.htm

Sejarawan Harry A Poeze mencari Tan Malaka

Memburu DNA Tan Malaka
Rabu, 31 Maret 2010 - 09:52 wib

Tanggal 8 Maret 2010 diumumkan laporan penyelidikan tes deoxyribose nucleic acid (DNA) kerangka jenazah yang diduga Tan Malaka di Jakarta setelah tertunda sekian lama.

Rencana semula kesimpulan akan diperoleh dua-tiga minggu sesudah penggalian makam di desa Selopanggung, Kediri, 12 November 2009. Keterlambatan ini karena kesulitan mendapatkan hasil di Jakarta sehingga sampelnya terpaksa diperiksa di Australia. Tim Identifikasi Tan Malaka terdiri atas dua dokter spesialis forensik Djaja Surya Atmadja dan Evi Untoro serta dokter gigi Nurtamy Soedarsono (ahli odontologi forensik).

Mereka menemukan pada kedalaman 2 meter sebuah kerangka, tanpa rambut, terbaring dalam posisi miring menghadap ke barat, dengan kedua lengan bawah tersilang ke belakang. Di sekitar leher, tungkai maupun lengan tidak didapatkan tali maupun bahan pengikat lainnya. Kerangka dalam keadaan rapuh, sebagian besar tulang kecil sudah tidak ada lagi, tulang-tulang panjang hanya ada bagian tengahnya, rapuh dan bagian sumsumnya berisi akar dan tanah.

Sebelumnya, dari pihak keluarga diperoleh keterangan bahwa Tan Malaka tidak merokok, mempunyai gigi geraham yang terbuat dari emas, tetapi tidak jelas geraham yang mana.Tidak lama sebelum meninggal dia pernah ditembak tungkainya (tak jelas apakah tungkai kanan atau kiri) sehingga Tan Malaka agak pincang. Dia juga mengidap penyakit paru menahun, yang ditandai dengan adanya riwayat sesak napas.

Pemeriksaan antropologi forensik menunjukkan kerangka tersebut seorang laki-laki, ras Mongoloid, tinggi badan 163-165 cm, dikubur secara Islam, tanda patah tulang tidak jelas. Pemeriksaan odontologi forensik terhadap rahang dan gigi geligi menunjukkan kerangka adalah seorang laki-laki, ras Mongoloid, usia 40-60 tahun, atrisi berat pada semua permukaan gigi depan, dan ada riwayat pernah sakit gigi.

Pemeriksaan DNA yang dilakukan pada kasus ini adalah pemeriksaan Y-Short Tandem Repeats (YSTR). Y-STR merupakan DNA inti (c-DNA) yang diturunkan secara total dari seorang pria kepada semua anak laki-lakinya. Pada kasus ini, Y-STR diturunkan oleh ayah Tan Malaka kepada Tan Malaka dan adik laki-lakinya. Adik laki-lakinya kemudian menurunkan DNA yang sama kepada anak laki-lakinya, Zulfikar, yang sekarang masih hidup.

Jika benar kerangka yang diperiksa adalah Tan Malaka, profil Y-STR dari kerangka tersebut akan sama persis dengan profil Y-STR dari Zulfikar. Pemeriksaan terhadap sampel gigi maupun tulang atap tengkorak tidak berhasil mendapatkan DNA manusia dari sampel-sampel tersebut, sehingga tidak berhasil didapatkan profil Y-STR dari kerangka tersebut.

Pengulangan pemeriksaan Y-STR terhadap sampel-sampel tersebut pada beberapa lab DNA lainnya, baik di dalam dan maupun di luar negeri, juga gagal mendapatkan DNA dan profil Y-STR dari kerangka yang diduga Tan Malaka tersebut. Sampai saat ini tim investigasi masih berusaha untuk mengekstraksi dan mencari profil Y-STR kerangka di lab DNA lain yaitu di Korea Selatan dan RRC.

Penyebab terjadinya keadaan “kerangka tanpa DNA” seperti yang ditemukan pada kasus ini dikenal sebagai kasus “bog body”, yang dapat terjadi akibat pengaruh lingkungan yang lembab dan basah di sekitar kerangka, yang terkubur di daerah aliran sungai.

Jago Menghilang

Semasa penjajahan, tokoh antikolonialis yang sangat tinggi mobilitasnya tampaknya Tan Malaka. Perjuangannya secara intensif “tanpa henti selama 30 tahun” tergambar dari kota yang disinggahinya (di dalam negeri) dari Pandan Gadang (Suliki), Bukit Tinggi, Batavia, Semarang, Yogyakarta, Bandung, Kediri, Surabaya, dan di luar negeri mulai dari Amsterdam, Berlin, Moskow, Amoy, Shanghai, Kanton, Manila, Saigon, Bangkok, Hong Kong, Singapura, Rangon sampai Penang.

Berselisih pendapat dengan PKI yang melakukan pemberontakan tahun 1926/1927, Tan Malaka mendirikan Partai Republik Indonesia (Pari) di Bangkok, 1 Juni 1927. Walaupun bukan partai massa, organisasi ini dapat bertahan hidup selama sepuluh tahun, padahal pada saat yang bersamaan partai-partai nasionalis di Tanah Air lahir dan mati. Pari dianggap berbahaya oleh intelijen Belanda dan aktivisnya diburu-buru. Semasa perjuangan Tan Malaka dianggap polisi penjajah sebagai “jago menghilang”.

Karena bertahun-tahun diburu intel, pemuda Minang ini selalu waspada, dia dalam setiap kesempatan duduk atau berada di tempat yang bisa melihat orang masuk dari pintu depan dan siap lari dari pintu belakang. Ketika diperiksa oleh polisi di Manila, Filipina dia menggertak “di dalam kubur suaraku akan terdengar lebih keras”. Bukan hanya itu, rupanya setelah meninggal pun kemampuan menghilang Tan Malaka tidak berkurang.

Bukan Penggalian Pertama

Penggalian makam seorang tokoh nasional ini bukan yang pertama. Tahun 1975 dengan dipimpin langsung Sekretaris Jenderal Departemen Sosial Rusiah Sardjono dilakukan penggalian di pertambangan Bayah, Banten untuk menemukan jenazah Supriyadi seorang komandan PETA yang berontak terhadap Jepang. Pada tempat yang ditunjukkan saksi tidak ditemukan apa-apa.

Kemudian dilanjutkan ke situs sekitar itu dan diperoleh kerangka seseorang yang kemudian dibawa ke Yogyakarta untuk diperiksa tim forensik Fakultas Kedokteran UGM. Waktu itu belum dilakukan tes DNA, tetapi berdasar pemeriksaan forensik tidak terdapat kecocokan antara kerangka tersebut dan ciri-ciri yang disebutkan pihak keluarga. Walaupun hasilnya nihil, pemerintah selanjutnya menetapkan Supriyadi sebagai pahlawan nasional.

Sejarawan Belanda, Harry Poeze, berdasarkan hasil penelitian selama bertahun-tahun dengan riset kepustakaan dan serangkaian wawancara di Jawa Timur menyimpulkan, Tan Malaka ditembak di desa Selopanggung di kaki gunung Wilis, Kediri. Dalam e-mail-nya kepada saya, 14 Maret 2010, Harry Poeze menegaskan keyakinannya bahwa Tan Malaka dimakamkan di Selopanggung dan berharap agar pemeriksaan DNA Tan Malaka lebih lanjut di Korea Selatan dan China berhasil.

Pencarian makam Supriyadi pada 1975 sepenuhnya atas prakarsa dan dana pemerintah yang ingin mengangkatnya sebagai pahlawan nasional. Namun, penggalian makam Tan Malaka pada 2009 atas inisiatif keluarga dengan sumbangan beberapa donatur seperti Taufik Kiemas (sebelum menjadi Ketua MPR).

Sangat ironis bila Tan Malaka yang sudah diangkat sebagai pahlawan nasional pada 1963 itu tidak dipastikan makamnya, padahal lokasinya sudah diketahui. Seyogianya Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menugaskan menteri sosial untuk menuntaskan kasus ini dengan anggaran negara.(*)

Asvi Warman Adam
Sejarawan LIPI,
Penasihat Tim Penggalian Makam Tan Malaka
Sumber:
http://suar.okezone.com/read/2010/03/31/58/317896/memburu-dna-tan-malaka

Makam Tan Malaka Diyakini di Sekitar Sungai Bruno

Rabu, 27 Januari 2010 | 12:44 WIB
TEMPO Interaktif, Kediri - Koordinator penelusuran jejak Tan Malaka, Asmun A Sjueib mendukung upaya pelacakan kembali makam tokoh sosialis yang akan dilakukan Departemen Sosial. Dia juga meminta keponakan Tan Malaka, Zulfikar untuk menyerahkan hak pencarian tersebut kepada Profesor Harry Poeze.

Asmun yang mendampingi sejarawan dari Belanda Profesor Harry Poeze mengaku menyimpan kekecewaan kepada Zulfikar yang dianggap mengambil alih upaya pencarian tersebut. Apalagi sejak awal dia meragukan kebenaran lokasi penggalian yang dilakukan Panitia Pembongkaran pimpinan Zulfikar bulan Oktober 2009 lalu. “Akan lebih baik jika penelusuran itu dipercayakan kembali kepada Pak Poeze,” kata Asmun kepada Tempo, Rabu (27/1).

Berdasarkan hasil riset yang dilakukannya bersama Profesor Poeze beberapa waktu lalu, terdapat sejumlah referensi titik yang diduga menjadi lokasi makam Tan Malaka. Selain kompleks makam desa yang digali Zulfikar, Poeze juga menemukan satu titik di tepian Sungai Bruno di Kecamatan Semen.

Dugaan ini didasarkan pada jalan gerilya Tan Malaka yang berhimpit dengan Jenderal Soedirman. Asmun bahkan menyebut kedua pahlawan itu sebagai Dwi Tunggal yang saling mengisi dalam gerakan mereka. “Di tepi sungai itu terdapat sebuah makam tak dikenal,” kata Asmun.

Hal itu dikuatkan dengan data yang dimiliki Dinas Rahasia Belanda, dimana tersimpan gambaran detil tentang penangkapan dan pembunuhan Tan Malaka. Data itu pulalah yang melatarbelakangi Poeze dan Asmun untuk mengunjungi bantaran Sungai Bruno yang melintas di Kecamatan Semen sebagai lokasi terakhir Tan Malaka.

Menurut cerita masyarakat setempat kepada Asmun dan Poeze kala itu, warga menyaksikan keberadaan seorang pria Cina di tempat tersebut. Pria itu tiba-tiba menghilang setelah sesaat kemudian ditemukan sebuah makam tak dikenal di tepian sungai. “Tan Malaka kan memang mirip orang Cina,” kata Asmun.

HARI TRI WASONO
Sumber: http://www.tempointeraktif.com/hg/nusa/2010/01/27/brk,20100127-221693,id.html

Makam Tan Malaka Dibongkar
Warga Pikir Itu Makam Orang Sakti

Warga Desa Selo Panggung di Kaki Gunung Wilis, Kediri, Jawa Timur, tak menyangka.

Ismoko Widjaya
Selasa, 17 Februari 2009, 14:08 WIB


VIVAnews - Warga Desa Selo Panggung di Kaki Gunung Wilis, Kediri, Jawa Timur, tak menyangka bahwa makam tua itu diduga kuat terkubur jasad pahlawan nasional, Ibrahim Datuk Tan Malaka. Selama ini warga mengira itu adalah makam keramat.

"Mereka menganggap ini adalah makam keramat atau makam orang sakti. Mereka tidak tahu makam itu Tan Malaka," kata Panitia Pencarian Makam Almarhum Datuk Tan Malaka, Asmun Ahmad Syu'eib, kepada VIVAnews melalui telepon, Selasa, 17 Februari 2009.

Hal itu didapatkan Asmun berdasarkan riset yang dilakukan ke beberapa penduduk. Riset itu dilakukan bersama penemu makam yang juga sejarahwan asal Belanda itu, Harri A Poeze.

Pernyataan Asmun itu masih terkait rencana pembongkaran makam Tan Malaka oleh panitia pencarian. Warga setempat yang mengetahui rencana pembongkaran itu

menyambut baik rencana panitia. "Kami sudah bicara dengan warga dan kepala desa. Malah masyarakat sangat antusias karena mereka menganggap ini adalah makam orang penting," ujar Asmun.

Rencananya, Maret 2009 makam yang ditemukan Poeze itu akan dibongkar oleh Panitia Pencarian Makam Almarhum Datuk Tan Malaka. Proses perizinan pembongkaran itu sudah dilakukan panitia dan kini sudah memasuki proses administrasi. Semua pihak dilibatkan mulai dari kepala desa, kepolisian, kejaksaan, hingga dinas sosial.

Pembongkaran makam ini bertujuan untuk mendapatkan bukti otentik bahwa jasad yang dikuburkan adalah benar milik Tan Malaka. Nantinya, tim akan melakukan uji DNA atas jasad di makam itu. Selain itu, tim juga akan menggunakan barang-barang peninggalan Tan Malaka lainnya untuk mencari titik terang. Barang-barang itu antara lain ikat pinggang dan baju.

Makam itu diduga sebagai lokasi makam Tan Malaka yang meninggal pada 21 Februari 1949. Penembak Tan Malaka hingga kini identitasnya belum diketahui dan masih hanya disebut dalam inisial.
• VIVAnews

Sumber: http://nasional.vivanews.com/news/read/30881-warga_pikir_itu_makam_orang_sakti

Sejarawan Harry A Poeze Datangi Makam Tan Malaka
Rabu, 23 Juli 2008 | 17:36 WIB

TEMPO Interaktif, KEDIRI:Harry Albert Poeze, sejarawan Belanda yang menyatakan Tan Malaka dibunuh di Dusun Selopanggung, Desa Selopanggung, Kecamatan Semen, Kabupaten Kediri, Jawa Timur, mendatangi makam tokoh sosialis itu di lereng Gunung Wilis, Rabu (23/7).

Penulis buku "Vurguisden Vergeten, Tan Malaka, De Linkse Beweging en Indonesische Revolution 1945-1949" (Tan Malaka, Dihujat dan Dilupakan, Gerakan Kiri dan Revolusi Indonesia 1945-1949) itu datang bersama tim yang beranggotakan tiga orang terdiri dari para ahli dan kerabat Tan Malaka.

Anggota tim itu adalah, Ibarsyah Iskak dan Zoelfikar (kerabat Tan Malaka) serta Hutomo Amarun. Mereka datang dari Jakarta ke Kediri dengan mengendarai mobil melalui jalan darat dengan dibantu seorang sopir.

"Kedatangan kami ke Selopanggung Kediri bersama Pak Poeze untuk melakukan survey dan memastikan keberadaan makam Tan Malaka. Soal apakah makam itu akan dibongkar atau dipindahkan dari Kediri, kami akan bicarakan nanti," kata Ibarsyah saat dihubungi Tempo melalui telepon selulernya ketika dalam perjalanan menuju Kediri, Rabu (23/7).

Menurut Ibarsyah, begitu tiba di Kediri mereka akan menemui Pemerintah Daerah Kabupaten Kediri untuk melakukan koordinasi terkait makam Tan Malaka. Setelah itu baru melakukan penelitian dan survey ke Selopanggung yang berjarak sekitar 20 kilometer dari pusat Kota Kediri.

"Kami sangat berterima kasih kepada seluruh warga Kediri yang telah banyak membantu selama Pak Poeze melakukan penelitian untuk menemukan makam Tan Malaka," kata Ibarsyah.

Sementara, Asmun A Sju'eib MA, Ketua Umum Paguyuban Murba dan Direktur Eksekutif Pusbitdem (Pusat Studi Penerbitan dan Pustaka Demokrasi) Jakarta kepada Tempo menyatakan kehadiran Poeze dan kerabat Tan Malaka sangat penting artinya bagi penentuan langkah selanjutnya. Asmun yang selama ini membantu Poeze melacak jejak Tan Malaka berharap kunjungan tim Poeze mendapat dukungan seluruh warga Kediri.

"Kami sangat berterima kasih, selama ini kami terbantu saat melakukan penelitian hingga menemukan makam Tan Malaka di Selopanggung. Tan Malaka adalah sejarah yang besar," kata Asmun saat menelopon Tempo, Rabu (23/7).

Dia mengaku sebenarnya akan ikut dalam rombongan Poeze ke Kediri. Tapi karena ada sesuatu yang harus dikerjakannya di Jakarta, dia tidak turut meninjau makam Tan Malaka. "Sebelumnya beberapa kali saya telah mendatangi Selopanggung dalam rangka memastikan bersama Pak Poeze. Sekarang para kerabat Tan Malaka perlu dihadirkan," kata Asmun.

Pemkab Kediri menyatakan siap mendukung semua langkah pemerintah pusat terkait makam Tan Malaka, asalkan semua data pendukung dan latar belakang sejarah dan validitasnya benar-benar bisa dipertanggungjawabkan secara ilmiah. "Banyak kalangan yang meminta keterangan soal makam Tan Malaka. Tapi kami tak bisa menjelaskan karena kami sama sekali tidak memiliki data dan bukti pendukung soal makam Tan Malaka. Jadi kami untuk sementara memilih pasif saja," kata Sigit Rahardjo. DWIDJO U. MAKSUM

Sumber:
http://www.tempointeractive.com/hg/nusa/jawamadura/2008/07/23/brk,20080723-128851,id.html

TNI Membunuh Tan Malaka
Harry Poeze

Selama 20 tahun sejarawan Belanda Harry Poeze mencari makam Tan Malaka. Pembunuh Tan Malaka mantan wali kota Surabaya.

Pemakaman itu terletak di atas bukit. Batu besar tinggi menjulang, lebih tinggi dari pohon kelapa, melintang di tengah bukit. Batu inilah yang menginspirasi para pembabat dusun untuk memberi nama kampungnya Selopanggung.

"Selo" dalam bahasa Jawa berarti "batu", sedangkan "panggung" bermakna "berdiri" atau "tempat pentas". Jadi, Selopanggung bisa diartikan sebagai batu yang berdiri tegak. Dusun ini terletak di Kecamatan Semen, berjarak sekitar 20 kilometer sebelah Barat kota Kediri.

Untuk menuju dusun ini orang harus melewati jalan menurun yang curam. Jika lewat selintas di jalan utama, kita tak menduga bahwa di bawah jalan curam tersebut terdapat dusun yang cukup besar. Nah, makam Mbah Selo, perintis dusun Selo, masih harus dicapai dengan menyusuri sungai kecil berbatu, kemudian turun ke sungai besar, naik ke bukit, sampai ke batu jangkung itu, lalu belok kiri dan seratus langkah kemudian baru tiba di makam.

Ada dua pohon kamboja di makam itu. Pertama sudah sangat tua, lebih dari seratus tahun. Satunya lagi lebih muda. "Di bawah pohon kamboja tua inilah Mbah Selo dimakamkan. Sedangkan yang di bawah pohon kamboja yang agak muda itu, terdapat makam tawanan yang dibunuh tentara dan buku-bukunya dibakar," kata Mbah Tolu, 68 tahun, kepada Tempo.

Ke dusun ini pula sejarawan Belanda Harry Poeze, 60 tahun, dua kali datang. Pertama, pada awal 1990-an dan kedua, dua tahun lalu. Direktur KITLV Press (Institut Kerajaan Belanda untuk Studi Karibia dan Asia Tenggara) ini telah 20 tahun mencari makam Tan Malaka. Baru di dusun itulah ia yakin bahwa "tawanan yang dibunuh tentara" seperti disebutkan Mbah Tolu itu adalah Tan Malaka.

Mbah Tolu ingat, saat itu ia berumur 10 tahun, ada serombongan tentara yang dipimpin Letnan Dua Soekotjo memasuki kampungnya. Bersama rombongan pasukan itu terlihat seorang laki-laki yang kata Tolu, "tangannya ditali, seperti tawanan. Mungkin itu yang bernama Tan Malaka."

Poeze mengatakan, penulis Madilog: Materialisme, Dialektika, Logika, kitab yang menghubungkan cara berpikir ilmu pengetahuan dengan kebudayaan Indonesia dan gerakan revolusi, itu ditangkap dan ditembak mati di Selopanggung pada 21 Februari 1949. "Dia ditembak atas perintah Letnan Dua Soekotjo dari Batalyon Sikatan bagian Divisi Brawijaya," ucap Poeze. "Soekotjo terakhir berpangkat brigadir jenderal dan pernah menjadi Wali Kota Surabaya."

Temuan Poeze ini menggugurkan cerita bertahun-tahun yang menyebutkan Tan Malaka mati ditembak di tepi sungai Brantas di wilayah Kediri. Tesis ini juga merevisi dugaan bahwa pasukan Partai Komunis Indonesia berada di belakang pembunuhan itu. Sayuti Melik, pengetik teks proklamasi, misalnya, dalam buku Sukarni dalam Kenangan Teman-temannya, menyebutkan bahwa pasukan Pesindo (PKI) membunuh Tan Malaka lantaran tak menginginkan Tan Malaka yang telah mendapat testamen dari Bung Karno menjadi presiden. Soekarno pada awal September 1945 memang mengeluarkan testamen yang menyebutkan "bila saya dan Hatta terhalang memimpin revolusi, saudara Tan Malaka melanjutkan memimpin revolusi."

Cerita kematian Tan Malaka itu mengisi salah satu bagian dari buku setebal 2.200 halaman yang telah ia luncurkan akhir Juli lalu. Buku berbahasa Belanda itu berjudul Vurguisden Vergeten, Tan Malaka, De linkse Beweging en Indonesische Revolution 1945-1949 (Tan Malaka, Dihujat dan Dilupakan, Gerakan Kiri dan Revolusi Indonesia 1945-1949). Terjemahan Indonesia buku tersebut paling cepat baru akan diluncurkan Desember nanti.

Kepada Tempo, Poeze yang telah 36 tahun meneliti Tan Malaka itu bercerita tentang periode akhir hidup tokoh yang disebut Muhammad Yamin sebagai "Bapak Republik Indonesia" ini. Berikut petikan wawancaranya:

Bagaimana Anda sampai pada kesimpulan bahwa Tan Malaka dibunuh di Selopanggung dan bukannya di tepi kali Brantas?

Saya memeriksa satu persatu berbagai versi kematian Tan Malaka. Seluruhnya ada delapan versi. Ada yang menyebut bahwa Tan Malaka mati di tepi sungai Brantas. Ini versi yang terbanyak disebut. Ada pula versi yang ditulis seseorang pada 1980-an yang mengaku sebagai penembak Tan Malaka. Saya ketemu dia dan saya tanya seperti apa Tan Malaka yang dia tembak mati. Saya tahu persis dia salah. Nah, kemudian ada keterangan dari seorang tentara yang menyebut bahwa salah seorang hakim mahkamah militer luar biasa adalah pelaku penembakan itu. Dia tak menyebutkan namanya, karena dia takut. Maklum saat itu zaman Orde Baru. Saya cari seluruh daftar nama hakim dan satu per satu saya telusuri riwayat mereka. Saya tahu Tan Malaka pernah membangun markas gerilya di Kediri. Saya cari siapa hakim yang pernah bertugas di wilayah Kediri. Ketemu. Orang itu bernama Hendrotomo. Tapi saat itu saya belum sempat wawancara dia. Hendrotomo keburu meninggal. Sesudah meninggal, tentara yang ketakutan itu baru mengaku terus terang bahwa orang yang dia maksud adalah Hendrotomo. Ini benar-benar sejarah yang rumit, dan saya menelitinya persis seperti pekerjaan detektif.


Lalu bagaimana Anda menguji kebenaran informasi itu?

Anggota TNI ini menyebut pada 1949 itu Hendrotomo merupakan anggota Batalyon Sikatan pimpinan Soerahmat. Saya segera menghubungi Soerahmat yang pada 1980-an itu masih hidup. Tapi Soerahmat tak banyak menjawab. Ia cuma menyebut lupa. Daerah-daerah yang dikuasai batalyon ini di Kediri saya datangi. Saya keluar masuk desa, tanya ke lurah-lurah dan orang-orang tua yang mengenal seluk beluk batalyon ini. Sampai di sini belum ketemu Dusun Selopanggung dan nama Letda Soekotjo. Lalu dari beberapa orang partai Murba (partai yang didirikan Tan Malaka), saya mendapat beberapa nama orang yang menjadi pengawal Tan Malaka saat lari dari markasnya di Desa Belimbing karena serbuan TNI dari divisi Brawijaya, dan pada saat yang sama Belanda masuk ke Kediri pada agresi II. Pengawal Tan Malaka yang saya wawancarai itu bernama Jakfar dan Soekatma. Mereka ikut mengawal Tan Malaka hingga dekat Selopanggung, sebelum akhirnya melarikan diri dan meninggalkan Tan Malaka sendirian. Kaki Tan Malaka saat itu terluka sehingga tak bisa lari.

Berikutnya, dari seorang bekas tentara teritorial yang tahu persis daerahnya menyebut bahwa Tan Malaka ditahan Soekotjo dan ditembak mati di Selopanggung. TNI waktu itu punya dua bagian: fungsional dan teritorial. TNI fungsional diberi tunjangan yang baik. Tentara teritorial yang berpangkat sangat rendah tak bersimpati pada TNI fungsional karena mereka tak diberi amunisi. Sumber saya ini tampaknya tak menyukai kiprah Soekotjo. Ia pun dengan mudah menceritakan penangkapan Tan Malaka. Cerita ini mirip dengan semua informasi yang terdapat dari berbagai sumber. Inilah gambar yang benar dari pelbagai versi kejadian.


Jadi yang siapa yang menembak: Soekotjo atau Hendrotomo?

Hendrotomo itu atasan Soekotjo. Dialah yang mempertanggungjawabkan tindakan Soekotjo pada atasannya, Soerahmat. Buku biografi Soerahmat yang diterbitkan anaknya, Suyudi Soerahmat, pada 2000, menuliskan dengan jelas, ada sebuah laporan dari bawahan Soerahmat bernama Hendrotomo. Di situ disebutkan Soerahmat bertanya pada Hendrotomo: bagaimana dengan Tan Malaka? Hendrotomo bilang, "sudah dibereskan dan dikuburkan". Ada proses? Hendrotomo bilang "ada proses". Proses yang dimaksud di sini adalah pengadilan militer yang dilakukan oleh Soekotjo. Tentu saja ini pengadilan main-main.


Anda bertemu Soekotjo?

Tidak. Dia sudah meninggal pada 1980-an. Dia pernah menjadi Wali Kota Surabaya dan berpangkat terakhir Brigadir Jenderal. Saya hanya bertemu dengan istri Soekotjo. Saya tanya pada dia, apakah tahu hubungan antara Soekotjo dan Tan Malaka? Dia tidak tahu. Ini bisa dimengerti karena perkawinan keduanya terjadi jauh sesudah penembakan. Soekotjo tidak bercerita pada istrinya. Nah, buku ini mengungkap peran Soekotjo. Saya berharap istri dan keluarga Soekotjo tidak marah ketika saya tulis Soekotjo adalah pembunuh Tan Malaka. Ini kenyataan sejarah.


Soekotjo menembak atas inisiatif sendiri atau atas perintah atasannya?

Menurut saya, itu atas inisiatif sendiri, bukan karena perintah Hendrotomo atau atasannya lagi. Dua orang ini, Soekotjo dan Hendrotomo, adalah orang kanan dan sangat membenci semua orang kiri. Sewaktu pemberontakan Madiun mereka sangat membenci orang kiri. Hendrotomo dan Soekotjo tak bisa membedakan orang kiri dan orang radikal kiri. Soekotjo tahu bahwa orang yang dia tahan adalah Tan Malaka, orang kiri yang berbahaya. Dengan regu yang kecil, pasukan Soekotjo waswas. Kalau tidak ditembak, maka mereka yang akan ditembak bila bertemu dengan orang-orang Tan Malaka. Maka regu Soekotjo ini pun memutuskan sendiri.

Hanya saja, pembunuhan itu mungkin tak akan terjadi jika tak ada perintah Soengkono, panglima divisi Brawijaya di Jawa Timur yang mengirimkan radiogram ke daerah-daerah bahwa aktivitas gerakan Tan Malaka berbahaya dan harus dihentikan. Ini kata-kata yang abstrak. Bisa ditafsirkan macam-macam. Perintahnya yang jelas adalah agar markas Tan Malaka di desa Belimbing, Kediri, harus diduduki dan batalyon Sabarudin yang melindungi Tan Malaka dibubarkan. Dalam perintah itu juga disebut mereka harus ditahan dan jika ada perlawanan bisa dipakai hukum militer. Mungkin Soekotjo menafsirkan perintah "hukum militer" sebagai tembak mati.


Saat itu pimpinan TNI tahu persis penangkapan Tan Malaka oleh Soekotjo?

Tidak. Komunikasi sangat terbatas. Hanya ada satu kurir antara kompi satu dengan kompi lain. Tidak ada radio. Makan waktu beberapa hari untuk pergi. Dalam waktu yang terbatas itu, Soekotjo beraksi sendiri, tanpa konfirmasi dari atasannya.

Bagaimana ceritanya Tan Malaka ditangkap di Selopanggung, sementara di Belimbing sebetulnya dia sudah terkepung?

Pada mulanya, divisi Brawijaya mengepung markas Belimbing. Tapi ketika tengah mengepung itulah datang serangan dari Belanda. Pasukan pengepung dan 50 pengawal Tan Malaka, termasuk anggota batalyon Sabarudin, lari tunggang langgang. Rombongan Tan Malaka terpecah empat. Tan Malaka dikawal enam orang. Mereka bergerak sekitar 60 kilometer ke arah Selatan mencari kesatuan yang bersimpati pada Tan Malaka. Tapi mereka harus melewati satu daerah yang dikuasai oleh pasukan yang membenci orang-orang kiri. Inilah kesatuan batalyon Sikatan. Di Selopanggung mereka bertemu regu Soekotjo. Enam pengawal Tan Malaka lari. Empat ke arah Sungai Brantas, dua lagi ke arah Selatan dan selamat. Tiga dari empat orang yang ke sungai Brantas ditembak mati. Seorang lagi melompat ke kali, berenang, dan selamat. Orang yang selamat inilah yang menjadi sumber saya. Kisah penembakan di tepi sungai Brantas itu kemudian dipercaya sebagai kisah kematian Tan Malaka. Padahal salah.


Mengapa TNI menilai Tan Malaka dan Sabarudin berbahaya?

Tan Malaka ke Belimbing untuk bergerilya. Saya bertemu sekitar 10 orang yang masih ingat kehadiran Tan Malaka di Belimbing. Di desa ini, Tan Malaka banyak menulis pamflet yang ia beri nama Dari Markas Murba Terpendam. Dia bikin pamflet yang mengecam Soekarno-Hatta yang bersedia ditahan begitu saja oleh Belanda dalam agresi II pada Desember 1948. Tan Malaka menilai keduanya mengkhianati republik karena tidak memutuskan bergerilya melawan Belanda. Dalam kondisi RI tanpa presiden dan wakil presiden itulah Tan Malaka menggunakan testamen dari Bung Karno. Dia mengajak rakyat perang gerilya melawan Belanda sebagaimana dilakukan Soedirman. Dari markas itu pula, Tan Malaka mengkritik divisi Brawijaya yang pengecut dan tak peduli pada kepentingan rakyat. Kritik ini tak disukai Soengkono yang kemudian mengeluarkan perintah penangkapan Tan Malaka.


Kenapa Tan Malaka memilih ikut Sabarudin ke Kediri?

Ini juga teka-teki untuk saya. Sesudah ditahan di 15 tempat selama dua tahun sejak Juli 1946, Tan Malaka dibebaskan, tanpa diberi amnesti oleh Soekarno. Saat itu Tan Malaka ditahan karena mengecam politik Soekarno yang tak revolusioner. Tapi ketika dibebaskan, Tan Malaka kemudian dipakai oleh Soekarno untuk menghadang politik PKI. Waktu itu dari Moskow, Muso dikirim untuk mendirikan Republik Indonesia-Sovyet. Tan Malaka dibebaskan untuk mendirikan salah satu alternatif kiri untuk melawan Muso. Lalu terjadi pemberontakan PKI Madiun pada akhir September 1948. Soekarno menumpas Muso. Pada 7 November 1948 pun Tan Malaka mendirikan partai Murba. Dia bukan ketua, tapi duduk di dewan partai. Sesudah terbentuk, kemudian ia memutuskan berkeliling daerah. Kebetulan waktu itu ada undangan dari batalyon Sabarudin untuk pergi ke Jawa Timur. Sabarudin menjamin keamanan Tan Malaka. Dia naik kereta api khusus dengan 50 pengawal dari Yogyakarta ke Kediri. Tan Malaka pergi ke sana antara November-Desember 1948, dan sibuk mendirikan organisasi pertahanan rakyat, dengan fokus kerja sama antara rakyat biasa dan kesatuan militer. Ini adalah perwujudan dari ide Tan Malaka dalam bukunya, Gerpolek (Gerilya Politik Ekonomi). Dalam buku itu disebut perlunya dibentuk pertahanan rakyat. Tapi gagasan itu baru dalam tahap awal, Belanda keburu datang.

Saya juga bertanya kenapa ikut Sabarudin? Padahal Sabarudin dikenal sebagai seorang aneh, gila, dan bahkan psikopat. Dia sebetulnya orang pintar, ikut sekolah Belanda, tapi otaknya terganggu. Dia tentara yang sangat mengagumi Tan Malaka. Tapi perilakunya aneh. Setiap ada tawanan, dia ingin menembak mati. Dia juga disebut senang minum darah musuh. Tindakan Sabarudin yang keterlaluan itu sebetulnya yang menyebabkan Soengkono membubarkan batalyon Sabarudin. Sebagai bagian dari divisi Soengkono, Sabarudin lebih memilih jalan sendiri. Aneh sekali, Tan Malaka yang intelektual dan mengerti betul gerakan revolusi ikut seorang psikopat. Ini kesalahan besar.


Sabarudin mati dalam pengejaran divisi Soengkono?

Tidak. Dia berhasil lolos. Dia sangat marah mendengar kematian Tan Malaka. Kembali menyusun batalyon, dia kemudian menghabisi anggota batalyon yang membantu Soerahmat. Giliran Soerahmat marah besar. Sabarudin ditangkap di Surabaya dan diputuskan diadili di Madiun. Di tengah jalan, atas perintah Soerahmat, dia ditembak mati pada November 1949.


Setelah makam ketemu apa rencana berikutnya?

Saya sudah menyerahkan kepada Departemen Sosial untuk menelusuri di sebelah mana sebenarnya makam Tan Malaka di Selopanggung. Makam harus dibongkar dan diuji DNA. Keluarga Tan Malaka sudah bersedia diambil sampel darahnya. Semua terserah pemerintah Indonesia, apa mau memindahkan makam itu atau tetap mempertahankannya di sana.

# YOS RIZAL SR | DWIJO MAKSUM

Sumber: http://www.ruangbaca.com/ruangbaca/?doky=MjAwNw==&dokm=MTA=&dokd=MDM=&dig=YXJjaGl2ZXM=&on=UEVS&uniq=NTY0



Keluarga Tan Malaka, Tak Lelah Mencari Kubur Sang Pahlawan Saat Orba Tiarap, Siasati dengan Sebar Buku dan Brosur
Kontroversi lokasi jasad Tan Malaka terus bergulir. Berbagai upaya telah dilakukan. Salah satunya membongkar salah satu kuburan yang diyakini sebagai makamnya. Serta membawanya ke Jakarta untuk tes DNA.

SRI UTAMI, Kediri.

Sabtu (12/9), suasana makam Dusun Selopanggung, Desa Selopanggung, Kecamatan Semen, Kabupaten Kediri sangatlah ramai. Jauh berbeda dengan biasanya yang lengang. Puluhan mobil dan sepeda motor berjajar. sampai radius satu kilometer. Dan kendaraan-kendaraan itu sudah terparkir
rapi sejak pukul 06.00.
Dua tenda berukurang 3X3 meter juga terpasang di tengah jalan menuju makam. Membuat kendaraan yang dari arah berlawanan tak bisa melintas. Semakin siang, kerumunan orang yang ada di makam yang terletak di lereng Gunung Wilis itu semakin banyak. Puluhan orang berdesak-desakan. Menyaksikan penggalian satu makam di tempat itu. Yang diduga berisi jasad Tan Malaka. Makam itu sebelumnya hanya ditandai batu.
Agar aktivitas penggalian tak tertanggu, panitia terpaksa membuat 'police line'. Dari tali rafia. Penduduk yang ingin menyaksikan tidak boleh melintasi garis batas tersebut.
Persis di sebelah barat lokasi penggalian, ada empat meja yang ditata sedemikian rupa. Jika di lokasi penggalian diberi batas tali rafia, di lokasi tersebut juga diberi batas. Kali ini bukan dengan tali rafia, melainkan dengan kelambu setinggi dua meter. Menjadikan tempat itu seperti ruangan. Sedianya, 'ruangan' itu untuk membersihkan kerangka jenazah di kubur itu. Sebelum kemudian dibawa ke Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (UI) untuk diteliti DNA-nya. Penggalian makam, yang diyakini jadi tempat mengubur jasad Tan Malaka, itu seolah menjadi titik
Awal proses mencari kepastian nasib Tan Malaka. Sosok pahlawan yang kematiannya hingga saat ini masih penuh kontroversi.
"Pembongkaran makam ini untuk memastikan apakah jenazah di makam yang ditandai batu ini benar Pak Tan Malaka atau orang lain," kata Zulfikar Kamarudin, keponakan Tan Malaka. Zulfikar kemarin sempat memberikan sambutan, sebelum proses penggalian dilakukan.
Keputusan menggali makam tersebut setelah peneliti dari Belanda Harry A. Pose menyebut Tan Malaka dikubur di tempat tersebut. Dan tim pencarian Tan Malaka, yang telah dibentuk sejak 2008, ingin memastikan kebenaran. Tentu saja dengan melakukan tes DNA. Sebagai DNA pembanding, sampelnya diambil dari Zulfikar. Satu-satunya kerabat dekat Tan Malaka yang masih hidup.
Sebenarnya, menurut pria berusia 69 tahun itu, pencarian makam Tan Malaka tidak hanya dilakukan saat ini. Melainkan sejak puluhan tahun lalu. Tepatnya setelah Tan Malaka mendapat gelar pahlawan nasional dari Presiden Soekarno. Melalui surat penetapan bernomor 53/1968. Saat itu, menurut pensiunan pegawai Departemen Keuangan (Depkeu) ini, Presiden Soekarno langsung memerintahkan Partai Murba
untuk mencari tahu keberadaan makam sang pahlawan.
Saat itu pencarian juga langsung dilakukan di Kediri. Tapi belum ada kepastian. Pihak keluarga, mulai ayah Tan Malaka Rasyad Bagindo Malano, dan adiknya, Kamarudin, juga melakukan pencarian. Tetapi, belum juga mendapatkan ada titik terang.
Hingga Orde Lama tumbang dan digantikan Orde Baru (Orba). Pergantian rezim tersebut membuat pencarian pahlawan yang dikenal beraliran sosialis ini 'tiarap' untuk sementara waktu. Pencarian secara fisik dihentikan akibat adanya berbagai tekanan. Mereka juga khawatir terjadi gejolak. Sebab, saat itu Tan Malaka masih menjadi kontroversi karena perbedaan pemikirannya. "Kami khawatir terjadi hal-hal yang tak diinginkan. Maka pencarian dihentikan dulu," lanjut pria yang juga pernah menjadi dosen di Sekolah Tinggi Akuntansi Negara (STAN) dan beberapa perguruan tinggi swasta ini.
Meskipun menghentikan pencarian, bukan berarti mereka benar-benar berhenti mencari. Agar tetap mengingatkan pada kepahlawanan Tan Malaka, pihak keluarga rajin menyebarkan brosur tentang Tan Malaka ke kampus-kampus. Mereka juga mengirimkan buku-buku Tan Malaka ke sejumlah kampus.
Gerakan 'bawah tanah' itu relatif membuahkan hasil. Setelah pemikiran Tan Malaka banyak dibaca masyarakat, terutama mahasiswa, muncul komunitas-komunitas kecil pecinta Tan Malaka. Komunitas inilah yang kemudian, mulai era reformasi hingga sekarang ini, getol melakukan pencarian makam Tan Malaka. Hingga klimaksnya terjadinya penggalian makam Sabtu lalu. "Keluarga merasa sangat terbantu. Yang mencari makam Pak Tan ini bukan lagi keluarga, melainkan tim dari berbagai unsur," terang Zulfikar dengan mata berkaca-kaca.
Bapak tiga anak itu mengaku sangat gembira melihat respon masyarakat. Yang menurutnya sangat luar biasa terhadap upaya pencarian Tan Malaka. Tim pencarian yang dibentuk juga terdiri dari berbagai unsur. Mulai dari parpol, lembaga swadaya masyarakat (LSM), hingga mahasiswa. Menteri Sosial (Mensos) Bachtiyar Chamsyah didapuk sebagai penasihat. Sedangkan anggotanya berisi beberapa tokoh penting. Seperti pengacara senior Adnan Buyung Nasution dan beberapa tokoh lain.
Dewan Pertimbangan Pusat (Deperpu) PDIP Taufik Kiemas juga disebut-sebut memberi andil besar dalam upaya pencarian makam Tan Malaka. "Atas bantuan mereka semua urusan menjadi lancar," tandas pria yang akrab disapa Zul ini.
Bila nanti makam Tan Malaka benar-benar ditemukan, Zul mengaku tidak mempunyai keinginan apa-apa. Pihak keluarga merasa puas melihat banyak 'anak' Tan Malaka yang menyebarkan ajaran dan pemikiran sang tokoh. Dari mereka itulah, menurut Zul, kepahlawanan Tan Malaka lambat laun diakui oleh masyarakat.
Kecintaan para penggagum Tan Malaka itu menurut Zul mampu menghapus sikap cuek pemerintah terhadap keberadaan Tan Malaka. Merekapun membentuk komunitas sendiri. Dan berjuang untuk memastikan keberadaan sang pahlawan.
Jika makam Tan Malaka memang berada di Desa Selopanggung, menurut pria yang didapuk sebagai ketua tim pencari dan penggali makam ini, pihak keluarga tidak akan menuntut banyak. Keluarga, kata Zul, hanya akan meminta agar pria bernama asli Ibrahim itu dihargai seperti pahlawan nasional lain. Dihargai sesuai jasa-jasanya dalam meraih kemerdekaan.
Kalaupun Tan Malaka memiliki pemikiran dan cara pandang yang berbeda terhadap pemerintahan dan ekonomi, menurut Zul, hal tersebut tidak boleh membuat Tan Malaka dikucilkan dan dilupakan. "Perbedaan cara berpikir itu biasa. Tapi jangan membuat kita melupakan jasa-jasanya," harap Zul.
Dia merasa miris melihat banyak pahlawan 'koruptor' yang bisa disemayamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata. Sementara, pamannya yang telah berjuang untuk kemerdekaan justru makamnya belum ditemukan hingga puluhan tahun Indonesia merdeka. "Kami hanya ingin agar Tan Malaka dihargai seperti pahlawan nasional lain. Tidak ada keinginan lainnya," tegas Zul. (fud)

Sumber: http://www.radartulungagung.co.id/features/1032-keluarga-tan-malaka-tak-lelah-mencari-kubur-sang-pahlawan-saat-orba-tiarap-siasati-dengan-sebar-buku-dan-brosur.html